Oleh: Sriyanto, MPd.*)
Pada tahun, 1994 filosofi pendidikan menempatkan pengembangan intelektual pada pengertian logical-mathemathical intelligence (Hasan, 2008). Sementara itu, manusia memiliki kemampuan intelektual yang beragam tidak hanya pada kemampuan intelektual dalam arti logical-mathemathical intelligence saja (Novack, 1977). Dimensi-dimensi intelektual lainnya yang harus dikembangkan dalam pendidikan, menurut Hasan (2008), dalam mata pelajaran tidak boleh terbatas hanya mengembangkan pada satu dimensi intelektual disesuaikan dengan karakteristik materi pelajaran.
Perkembangan filosofi pendidikan di Indonesia setelah diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), ditinjau dari sisi konten masih mengacu pada filosofi kurikulum esensialisme dan perenialisme, yang memberikan beban kepada peserta didik untuk menguasai kompetensi yang dipersyaratkan oleh disiplin ilmu. Seperti dalam kurikulum IPS, kompetensi dari disiplin ilmu sosial menjadi jelas prioritasnya, harus dimiliki oleh peserta didik. Sedangkan kemampuan lain untuk hidup di masyarakat dan bermasyarakat seperti komunikasi, kepedulian sosial, kemampuan mengidentifikasi dan mengembangkan solusi penyelesaian masalah, kemampuan hidup di masyarakat yang penuh dengan kemajuan teknologi, sikap kritis, dan semangat kebangsaan tidak menjadi kemampuan yang harus dimiliki oleh peserta didik.
Pendidikan adalah usaha mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik, potensi cipta, rasa, dan karsanya agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cira-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan, harmonis, dinamis, guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan (Phenix, 1964). Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan. Topik utama dalam filsafat pendidikan umumnya dikelompokkan dengan kategorisasi, hubungan antara tujuan hidup dan tujuan pendidikan; konsep pendidikan, mendidik dan dididik; guru dan pendidik sebagai pribadi/SDM; fungsi, tugas dan nilai sekolah sebagai lembaga pendidikan formal dan pranata sosial; makna pendidikan dalam jangka panjang sebagai investasi nasional (Rasyidin, 2008: 19). Uraian singkat berikut ini mencoba menganalisis filosofi pendidikan di Indonesia yang didasarkan pada mazhab filsafat pendidikan secara terus menerus perlu disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains pendidikan. Masalah filsafat pendidikan, terjadi di sekitar pertanyaan, apakah pendidikan, untuk apa pendidikan, dan apa saja ciri pendidikan yang terbaik? Aliran filsafat pendidikan yang berkait erat dengan nilai pendidikan dalam konteks sosio-budaya suatu Negara, terdapat mazhab filsafat pendidikan humanisme, perenialisme, esensialisme, progresivisme, dan rekonstruksionisme (Rasyidin, 2008:19).
Aliran filsafat pendidikan di bawah ini dikembangkan dari filsafat pendidikan progresif dan konservatif, meliputi: (1) Filsafat pendidikan pragmatisme, aliran filsafat pendidikan ini sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami. Lahir di Amerika dengan tokoh utamanya adalah John Dewey, Wiliam James, dan Charles Sandre Peirce; (2) Filsafat pendidikan progresivisme, sebenarnya progresivisme bukan merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Tokoh-tokohnya antara lain: William O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B.Thomas, Frederick C. Neff; (3) Filsafat pendidikan esensialisme, esensialisme adalah suatu filsafat pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik pada trend-trend progresif di sekolah-sekolah. Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral di antara kaum muda; (4) Filsafat pendidikan perenialisme, merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakteraturan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji; dan (5) Filsafat pendidikan rekonstruksionisme, merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang. Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil.
Filosofi yang dipergunakan dalam pengembangan kurikulum di Indonesia masih terbatas pada filosofi esensialisme dan perenialisme. Filosofi ini terus digunakan meskipun kurikulum di Indonesia sering mengalami pergantian, sehingga dapat dikatakan bahwa proses pengembangan kurikulum selalu menghasilkan kurikulum yang sama. Perbedaan hanya terjadi dalam cara pengemasan konten kurikulum dan proses pembelajaran. Sebagai contoh misalnya dalam kurikulum sejarah tahun 1994 tidak terlepas dari filosofi esensialisme dan perenialisme ini, yang memiliki sifat nomothetic ilmu yang bersifat universal dan menganggap lingkungan sekitar sebagai bagian dari universalisme tersebut. Sehingga peserta didik belajar berdasarkan pada kenyataan yang telah dianggap benar oleh disiplin ilmu-ilmu sosial tersebut, akibatnya mereka tercerabut dari akar budaya dan lingkungannya. Berdasarkan pada filosofi tersebut kurikulum sejarah bertujuan agar peserta didik memahami kebenaran sejarah berdasarkan pada konsep nomothetic, yang memiliki kebenaran universal.
Berdasarkan pada filosofi esensialisme dan perenialisme, penentuan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) bertentangan dengan prinsip pengembangan kompetensi pendidikan. SKL adalah kompetensi yang harus dimiliki oleh peserta didik dan inti dari kompetensi adalah ability to perform (Hasan, 2007). Kurikulum harus secara tegas menyikapi bahwa peserta didik bukan belajar untuk kepentingan mata pelajaran tetapi mata pelajaran adalah untuk medium mengembangkan kepribadian peserta didik. Oleh karena itu, pendekatan banyaknya materi yang harus dipelajari diganti dengan pendekatan cara belajar sesuai dengan pernyataan it is not a matter how much you have learned but a matter of how you learn it. Secara teknis filsafat rekonstruksi sosial, dapat menjadi alternative, sebab melalui filsafat ini masyarakat dijadikan sumber dan juga dijadikan objek dalam belajar. Masalah-masalah yang berkembang dalam masyarakat, kebutuhan masyarakat, dan keunggulan masyarakat dapat dijadikan materi pelajaran. Dengan perubahan ini maka kurikulum tidak menutup dindingnya terhadap masyarakat tetapi menjadikan masyarakat sebagai dasar untuk mengembangkan proses belajar dan sebagai sumber belajar.
Meskipun demikian, sebagaimana perlu ada revisi terhadap filsafat progresif dan rekonstruksi sosial yang digunakan, diperlukan pula revisi terhadap tujuan, materi, proses belajar, dan evaluasi yang dikembangkan. Keterampilan-keterampilan dalam bidang teknologi tertentu dan vokasional tertentu yang dibutuhkan oleh suatu lingkungan budaya dijadikan konten utama kurikulum. Suatu hal yang jelas bahwa definisi kurikulum oleh kelompok "conservative" (perenialism dan essentialism), kelompok "romanticism" (romantic naturalism), "existentialism" maupun "progressive" (experimentalism, reconstructionism) hanya memusatkan perhatian pada fungsi "transfer" dari apa yang sudah terjadi dan apa yang sedang terjadi (Hasan, tt). Pada aliran progresif kelompok rekonstruksionis dapat dikatakan berbeda dari lainnya, karena kelompok ini tidak hanya mengubah apa yang ada pada saat sekarang tetapi juga membentuk apa yang akan dikembangkan. Walaupun tidak begitu jelas tetapi pada pandangan ini sudah ada upaya untuk "shaping the future" dan bukan hanya "adjusting, mending or reconstructing the existing conditions of the life of community".
Pandangan rekonstruksi sosial di atas menyebabkan kurikulum haruslah diredefinisikan kembali sehingga ia tidak mediocre karena hanya menfokuskan diri pada transfer kejayaan masa lalu, pengembangan intelektualitas, atau pun menyiapkan peserta didik untuk kehidupan masa kini. Padahal masa kini adalah kelanjutan dari masa lalu dan masa kini akan terus berubah dan sukar diprediksi. Kemajuan teknologi pada akhir kedua abad keduapuluh telah memberikan velocity perubahan pada berbagai aspek kehidupan pada tingkat yang tak pernah dibayangkan manusia sebelumnya. Pendidikan haruslah aktif membentuk dan mengembangkan potensi peserta didik untuk suatu kehidupan yang akan dimasukinya dan dibentuknya. Peserta didik akan menjadi anggota masyarakat yang secara individu maupun kelompok tidak hanya dibentuk oleh masyarakat (dalam posisi menerima = pasif) tetapi harus mampu memberi dan mengembangkan masyarakat ke arah yang diinginkan (posisi aktif). Artinya, pendidikan merupakan rancangan dan kegiatan pendidikan yang secara maksimal mengembangkan potensi kemanusiaan yang ada pada diri seseorang baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat untuk kehidupan dirinya, masyarakat, dan bangsanya di masa mendatang.
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 memberikan kewenangan kepada masing-masing daerah untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Berhembusnya angin demokratisasi dan reformasi di Indonesia, maka kurikulum pendidikan mengalami perubahan yang cukup signifikan dari yang sentralistis menjadi desentralistis. Kurikulum inibertujuan agar peserta didik dalam pembelajarannya berorientasi pada lingkungan sekitarnya, sehingga mereka tidak tercerabut dari lingkunganya. Dengan demikian masing-masing daerah dapat menggali potensi untuk dikembangkan dalam proses pembelajaran. Potensi masing-masing daerah ini tentu saja tetap mengacu pada standar yang telah ditentukan pemerintah pusat, sehingga dalam mengembangkan kurikulum masing-masing satuan pendidikan berada dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pendidikan dilaksanakan tidak hanya sekedar transfer of knowledge, tetapi juga mengembangkan keterampilan dan sikap sebagai aspek penting dalam komponen kompetensi. Kompetensi dalam aspek keterampilan dan sikap membutuhkan waktu perkembangan yang lama dan terus menerus, yang tidak dapat dikuasai dalam one short meeting.
*) Penulis: Guru Mata Pelajaran Sejarah di SMAN 1 Sukadana, Pemerhati Pendidikan dan sekarang sedang melanjutkan pendidikan S3 di Pasca Sarjana UPI Bandung.
Greeting
Selasa, 18 Januari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Arsip Blog
-
▼
2011
(124)
-
▼
Jan 2011
(16)
- Revolusi Melati Tunisia dalam Perspektif Barat
- Virus Revolusi Tunisia Menyebar Ke Negara Arab
- Informasi SNMPTN 2011 Panitia Lokal Bandung
- Perjalanan Panjang Hosni Mubarak
- Mengenang Sang Jawara Jazz Elfa Secioria
- Do’a Sehari-hari
- Visi dan Misi SMA Negeri 1 Sukadana
- Eksistensi Fisika
- Chord dan Lirik Lagu Andai Aku Jadi Gayus Tambunan
- Salah satu contoh Surat Cinta Anak IPA
- Bukti-bukti Crop Circle buatan manusia
- Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
- MASALAH PERGANTIAN KURIKULUM DI INDONESIA
- Jadwal UN SMA Tahun 2011
- Induksi Magnetik
- Pendidikan Lingkungan Hidup Kelas XII IPA Semester...
-
▼
Jan 2011
(16)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar